Dalam jangka panjang, kelangkaan modal bisa menjadi entry point terjadinya siklus rantai kemiskinan pada masyarakat petani/pedesaan yang sulit untuk diputus. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin pada tahun 2004 mencapai 36,1 juta orang, dan sebanyak 21,3 juta (58,8%) di antaranya bekerja di sektor pertanian. Lemahnya permodalan pelaku ekonomi di pedesaan telah disadari oleh pemerintah dan akhirnya terdorong untuk meluncurkan beberapa kredit program yang ditujukan kepada petani dan pengusaha kecil dan mikro sejak Repelita I. Dimulai dengan kredit Bimas pada tahun 1972, kemudian menyusul kredit program lainnya seperti Kredit Investasi Kecil (KIK), Kredit Modal Kerja Permanen (KMKP), Proyek Peningkatan Pendapatan Petani/Nelayan Kecil (P4K), Kredit Usaha Tani (KUT) dan sampai saat ini masih berlangsung Kredit Ketahanan Pangan (KKP).
Sehingga Keuangan mikro dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif. Peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan, melalui :
> tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi,
> mengelola resiko dengan lebih baik,
> secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
> mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
> menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya, dan dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
> mengelola resiko dengan lebih baik,
> secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset,
> mengembangkan kegiatan usaha mikronya,
> menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya, dan dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
Tanpa akses yang tetap pada lembaga keuangan (mikro), hampir seluruh rumah tangga miskin akan bergantung pada kemampuan pembiayaannya sendiri (yang sangat-sangat terbatas) atau pada kelembagaan keuangan informal (rentenir, tengkulak, pelepas uang) yang membatasi kemampuan kelompok miskin berpartisipasi dan mendapat manfaat dari peluang pembangunan. Secara khusus keuangan mikro juga dapat menjadi jalan yang efektif dalam membantu dan memberdayakan perempuan, yang menjadi bagian terbesar dari masyarakat miskin sekaligus juga memiliki potensi dan peran besar untuk meningkatkan ekonomi keluarga jika mendapat kesempatan.
Sampai saat ini, pelayanan keuangan mikro dianggap sebagai salah satu strategi kunci dalam penanggulangan kemiskinan, dan manfaat pelayanan keuangan mikro dalam meningkatkan taraf kehidupan masyarakat miskin telah banyak diungkapkan oleh studi di berbagai negara. Namun masyarakat miskin bukanlah komunitas yang homogen, dan strategi serta bentuk pelayanan keuangan mikro terus menerus berkembang sejalan dengan perkembangan pemikiran dan pemahaman mengenai masyarakat miskin (Matin, Hulme dan Rutherford, 4).
Pada masa pemberian kredit pertanian bersubsidi (1950-an – 1970-an), masyarakat miskin dipandang sebagai petani kecil yang tersisihkan dengan fokus perhatian pada laki-laki sebagai pencari nafkah utama. Oleh karenanya, dianggap perlu untuk meningkatkan produktivitas mereka melalui pemberian kredit. Pada era 1980-an masyarakat miskin lebih banyak dipandang sebagai pengusaha mikro, umumnya perempuan, yang tidak memiliki aset untuk dijadikan jaminan walaupun usahanya mempunyai prospek untuk berkembang. Berdasarkan pemahaman ini dikembangkan upaya-upaya lembaga non-pemerintah untuk menyediakan kredit mikro, khususnya bagi perempuan. Peralihan dari kredit bersubsidi ke kredit tanpa subsidi ini juga dilatarbelakangi oleh argumen bahwa masyarakat miskin sebenarnya tidak membutuhkan subsidi bunga pinjaman, tetapi mereka lebih membutuhkan akses terhadap kredit.
|
Secara spesifik dalam konteks pembangunan ekonomi pedesaan yang masih didominasi oleh sektor pertanian, potensi yang dapat diperankan LKM dalam memacu pertumbuhan ekonomi sangat besar. Setidaknya ada lima alasan untuk mendukung argumen tersebut. Pertama, LKM umumnya berada atau minimal dekat dengan kawasan pedesaan sehingga dapat dengan mudah diakses oleh petani/pelaku ekonomi di desa. Kedua, Petani/masyarakat desa lebih menyukai proses yang singkat dan tanpa banyak prosedur. Ketiga, Karakteristik usahatani umumnya membutuhkan platfond kredit yang tidak terlalu besar sehingga sesuai dengan kemampuan finansial LKM. Keempat, dekatnya lokasi LKM dan petani memungkinkan pengelola LKM memahami betul karakteristik usahatani sehingga dapat mengucurkan kredit secara tepat waktu dan jumlah; dan Kelima, Adanya keterkaitan socio-cultural serta hubungan yang bersifat personal- emosional diharapkan dapat mengurangi sifat moral hazard dalam pengembalian kredit. Secara empiris potensi LKM dalam membantu permodalan masyarakat miskin pedesaan setidaknya telah dibuktikan oleh Proyek Karya Usaha Mandiri yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Badan Litbang Pertanian.
Dalam skala yang lebih makro, keberadaan LKM di pedesaan dapat menjadi faktor kritikal dalam usaha penanggulangan kemiskinan yang efektif di pedesaan. Menurut Krishnamurti (2003) peningkatan akses dan pengadaan sarana penyimpanan, pembiayaan dan asuransi yang efisien dapat membangun keberdayaan kelompok miskin dan peluang mereka untuk keluar dari kemiskinan, melalui: (1) tingkat konsumsi yang lebih pasti dan tidak befluktuasi, (2) mengelola risiko dengan lebih baik, (3) secara bertahap memiliki kesempatan untuk membangun aset, (4) mengembangkan kegiatan usaha mikronya, (5) menguatkan kapasistas perolehan pendapatannya, dan (6) dapat merasakan tingkat hidup yang lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar